Sabtu, 11 April 2020

Bila Seorang Penulis Tak Bisa Menyelesaikan Tulisannya

Sejak menjalani hari demi hari nyaris tak beranjak dari rumah, berbagai macam kegiatan yang tak laku pada hari-hari biasa, kini mulai dijamah. Dalam keluarga saya, masing-masing anggota sibuk mencari kegiatan-kegiatan untuk membunuh kebosanan. Termasuk urusan-urusan yang telah lama ditinggalkan.
Buku kumpulan resep yang telah berdebu, kini tak lagi kesepian di rak buku. Dengung suara mixer yang menggema mulai merasuk ke telinga. Oven yang telah lama menganggur kembali terdengar mendengkur.
Ada baiknya juga ternyata, kue pisang atau kue nanas jadi lebih sering tersaji di atas meja. Dan yang aneh pada hari-hari bisa menjadi wajar saja di masa pandemi Corona.
Misalnya, roti gagal produksi yang biasanya tak terjamah hingga basi, kali ini menjadi santapan lezat untuk dinikmati. Maklumlah, tukang rotinya hanya seorang ibu rumah tangga, bukan jago masak sekelas Chef Renatta.
Bukan Cuma Masker dan Hand Sanitizer yang Langka
Sementara istri rajin membikin kue basah ataupun kering, anak-anak mendadak sibuk browsing dan memainkan gim daring. Mula-mula mereka cukup puas melakukannya dengan telepon pintar yang mereka punya. Namun kemudian mereka menginginkan permainan yang lebih seru melalui layar yang tak cuma selebar buku saku.
Demi menjaga kedamaian rumah tangga, saya pun merelakan laptop yang bisa menemani saya untuk mengatasi kegelisahan anak- anak remaja. Untungnya, saya masih menyimpan sebuah netbook yang telah menghuni gudang sekian lama.
Setelah beberapa kali saya mencoba menghidupkannya, laptop mini itu masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sepanjang masih bisa digunakan untuk mengetik dan menayangkan naskah, jalannya lemot pun tak masalah.
Namun si laptop kecil tetap saja meninggalkan problema. Papan ketik alias keyboard-nya tak berfungsi normal sebagaimana seharusnya. Ada beberapa karakter yang hilang, tak muncul di layar seberapa pun kuatnya jari saya menekan.
Saya tak mau patah arang. Saya memiliki cara untuk mengatasinya. Saya mengganti karakter-karakter yang hilang dengan huruf-huruf yang jarang digunakan. Misalnya, saya menukar huruf "a" dengan huruf "x", huruf "w" dengan huruf "v", dan tanda baca "." dengan ";".
Setelah menyelesaikan konsep seluruhnya, saya memanfaatkan tools "Replace" untuk menggantikan huruf-huruf yang berfungsi sebagai "stuntman" itu dengan karakter-karakter yang sebenarnya. Karakter-karakter yang hilang saya munculkan dengan fasilitas copy-paste dari lembar khusus yang saya bikin sebagai alat bantu.  
ilustrsi-dokpri-5e91cdf5097f36108c65dc12.jpg
ilustrsi-dokpri-5e91cdf5097f36108c65dc12.jpg
ilustrasi: dokpri
ilustrasi-lembar-karakter-yang-hilang-dokpri-png-5e91cc9bd541df4ac5157c02.png
ilustrasi-lembar-karakter-yang-hilang-dokpri-png-5e91cc9bd541df4ac5157c02.png
ilustrasi: dokpri
Dengan cara itu, menjelmalah sebuah artikel yang siap diantarkan ke laman Kompasiana.
Judul Artikel Tanpa Huruf "A"
Masalah berikutnya nongol lagi. Laman dashboard untuk menulis di Kompasiana tak mengizinkan Kompasianer membuat judul artikel dengan cara copas. Dan sungguh celaka. Kala itu saya tak mengenal software "keyboard virtual" yang sebenarnya banyak tersedia secara cuma-cuma. Waduh, pusing lagi ini kepala. Gimana cara mengatasinya, ya?
Saya sempat berpikir untuk membuat judul yang tak mengandung karakter "q", "w", "a", "?" dan ".". Tanpa didukung oleh empat karakter yang lain, sepertinya saya masih sanggup. Namun, nyaris mustahil saya memberi judul sebuah artikel berbahasa Indonesia tanpa menyertakan huruf "a" di dalamnya.
Nggak lucu kan kalau artikel yang terakhir saya tayangkan kemarin kasih judul "Sebelum Menginginkin Libel IU, Selimitkin Dulu Dirimu". Kalau itu bisa dianggap lucu, tentu saya bisa menayangkannya ke dalam Topik Pilihan yang ini.
Untungnya, akal saya masih lumayan bisa jalan. Meskipun harus melalui perjalanan yang berliku, akhirnya sebuah solusi ketemu.
Fasilitas "draft" di Kompasiana yang selama ini jarang saya pakai, akhirnya mendatangkan manfaat juga. Naskah yang telah tersusun rapi saya masukkan sebagai "draft" di akun saya. Setelah itu, saya buka "draft" itu melalui handphone, sekadar untuk mengetikkan judul artikel.
Setelah berjudul, akhirnya bisa tayang juga. Sudah tentu lega rasanya.

Jika Seorang Penulis Tak Bisa Menyelesaikan Tulisannya
Kata seorang psikolog, suatu kegiatan yang dilakukan secara berulang dalam waktu lama bisa menjadi sebuah kebiasaan baru. Saya cukup meyakini pernyataan itu karena sepertinya saya mengalami juga.
Frekuensi yang cukup banyak mengetik dengan huruf-huruf "aneh" tampaknya telah menjadi "habit" baru bagi saya. Ketika saya beralih menulis artikel menggunakan laptop yang lain, termasuk juga ketika mengetik di smartphone, seringkali saya memencet tombol huruf "x" saat bermaksud memunculkan huruf "a". Demikian pula yang terjadi pada empat karakter lainnya.
Ada satu hal yang menjadi kegelisahan saya kini. Jika pandemi Corona berlanjut dalam waktu yang sangat lama, bisa-bisa saya tak mengenali lagi huruf-huruf "q", "w", "a" serta tanda baca "?" dan ".". Masak sih saya harus mengulang belajar membaca dengan mengikuti Kejar Paket A?
Dan di antara kelima karakter yang mungkin akan terhapus dari memori saya, tanda "titik" bisa menimbulkan dampak yang sangat serius terhadap karier saya. Bayangkan saja, ada seorang (yang merasa diri sebagai) penulis tak mengenal tanda titik. Akibatnya, seumur hidup ia tak akan pernah bisa menyelesaikan tulisannya!
Previous Post
Next Post

0 komentar: